Menurut Arne Naess krisis
lingkungan saat ini hanya bis adiatasi dengan melakukan perubahan cara pandang
dan perilaku manusia terhadap alam. Perubahan cara pandang yang fundamental dan
radikal dibutuhkan sebagai sebuah pola atau gaya hidup baru yang tidak hanya
menyangkut orang per orang, tetapi juga budaya masyarakat secara keseluruhan.
Selaman ini telah berkembang
dua cara pandang yaitu :
1.
Antroposentrisme
Yaitu teori etika
lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta, cara
pandang ini menyebabkan manusia mengeksploitasi dan menguras alam semsta demi
memenuhi kebutuhan kepentingan manusia. Imanuel Kant adalah seorang penganut
teori ini.
2.
Ekosentrisme
Merupakan kelanjutan
teori biosentrisme (teori yang menganggap bahwa setiap kehidupan dan makhluk
hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Teori ini mengaggap
serius setiap kehidupan dan makhluk hidup di alam semesta).
Ekosentrisme telah
mendobrak cara pandang antroposentris, bahkan telah dikembangkan lebih lanjut
hingga mencakup seluruh komunitas ekologis yang dikenal dengan nama deep
ecology. Arne Naess, seorang fisuf Norwegia, pada tahun 1973 telah mempelopori
cara pandang ini.
1.
Perkembangan Pendidikan Lingkungan Hidup di Tingkat Internasional
Pada
tahun 1975, sebuah lokakarya internasional tentang pendidikan lingkungan hidup
diadakan di Beograd, Jugoslavia. Pada pertemuan tersebut dihasilkan pernyataan
antar negara peserta mengenai pendidikan lingkungan hidup yang dikenal sebagai
“The Belgrade Charter – a Global Framework for Environmental Education”.
Secara
ringkas tujuan pendidikan lingkungan hidup yang dirumuskan dalam Belgrade
Charter tersebut di atas adalah sbb:
1.
Meningkatkan kesadaran dan perhatian terhadap
keterkaitan bidang ekonomi, sosial, politik serta ekologi, baik di daerah
perkotaan maupun pedesaan.
2.
Memberi kesempatan bagi setiap orang untuk mendapatkan
pengetahuan, keterampilan, sikap/perilaku, motivasi dan komitmen, yang
diperlukan untuk bekerja secara individu dan kolektif untuk menyelesaikan
masalah lingkungan saat ini dan mencegah munculnya masalah baru.
3.
Menciptakan satu kesatuan pola tingkah laku baru bagi
individu, kelompok-kelompok dan masyarakat terhadap lingkungan hidup.
2.
Perkembangan Pendidikan Lingkungan Hidup di tingkat ASEAN
Program pengembangan
pendidikan lingkungan bukan merupakan hal yang baru di lingkup ASEAN.
Negara-negara anggota ASEAN telah mengembangkan program dan kegiatannya sejak
konferensi internasional pendidikan lingkungan hidup pertama di Belgrade tahun
1975. Sejak dikeluarkannya ASEAN Environmental Education Action Plan
2000-2005, masing-masing negara anggota ASEAN perlu memiliki kerangka
kerja untuk pengembangan dan pelaksanaan pendidikan lingkungan. Indonesia
sebagai negara anggota ASEAN turut aktif dalam merancang dan melaksanakan ASEAN
Environmental Education Action Plan 2000-2005. Pada intinya ASEAN
Environmental Education Action Plan 2000 – 2005 ini merupakan tonggak
sejarah yang penting dalam upaya kerja sama regional antar sesama negara
anggota ASEAN dalam turut meningkatkan pelaksanaan pendidikan lingkungan di
masing-masing negara anggota ASEAN.
3.
Perkembangan Pendidikan Lingkungan Hidup di Indonesia
Di Indonesia
perkembangan penyelenggaraan pendidikan lingkungan dimulai pada tahun 1975
dimana IKIP Jakarta untuk pertama kalinya merintis pengembangan pendidikan
lingkungan dengan menyusun Garis-garis Besar Program Pengajaran Pendidikan
Lingkungan Hidup yang diujicobakan di 15 Sekolah Dasar Jakarta pada periode
tahun 1977/1978.
Pada tahun 1979
dibentuk dan berkembang Pusat Studi Lingkungan (PSL) di berbagai perguruan
tinggi negeri dan swasta. Bersamaan dengan itu pula mulai dikembangkannya
pendidikan AMDAL oleh semua PSL di bawah koordinasi Menteri Negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Meneg-PPLH). Saat ini jumlah PSL yang menjadi
anggota BKPSL telah berkembang menjadi 87 PSL, di samping itu berbagai
perguruan tinggi baik negeri maupun swasta mulai mengembangkan dan membentuk
program khusus pendidikan lingkungan, misalnya di Jurusan Kehutanan IPB.
Pada jenjang
pendidikan dasar dan menegah (menengah umum dan kejuruan), penyampaian mata
ajar tentang masalah kependudukan dan lingkungan hidup secara integratif
dituangkan dalam sistem kurikulum tahun 1984 dengan memasukkan masalah-masalah
kependudukan dan lingkungan hidup ke dalam hampir semua mata pelajaran. Sejak
tahun 1989/1990 hingga saat ini berbagai pelatihan tentang lingkungan hidup telah
diperkenalkan oleh Departemen Pendidikan Nasional bagi guru-guru SD, SMP dan
SMA termasuk Sekolah Kejuruan.
Prakarsa
pengembangan pendidikan lingkungan juga dilakukan oleh berbagai LSM. Pada tahun
1996/1997 terbentuk Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL) antara LSM-LSM yang
berminat dan menaruh perhatian terhadap pendidikan lingkungan. Hingga tahun
2001 tercatat 76 anggota JPL yang bergerak dalam pengembangan dan pelaksanaan
pendidikan lingkungan.
Sehubungan
dengan kegiatan pendidikan lingkungan hidup di Indonesia, Kelompok Kerja
Pendidikan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Lingkungan Hidup (Pokja PKSDH &
L) telah membagi perkembangan kegiatan pendidikan lingkungan hidup di Indonesia
ke dalam tiga periode, yaitu :
a. Periode 1969-1983 (periode persiapan dan peletakan dasar)
Usaha pengembangan
pendidikan LH ini tidak bisa dilepaskan dari hasil Konferensi Stockholm pada
tahun 1972 yang antara lain menghasilkan rekomendasi dan deklarasi antara lain
tentang pentingnya kegiatan pendidikan untuk menciptakan kesadaran masyarakat
dalam melestarikan lingkungan hidup. Salah satu kegiatan yang mempelopori
pengembangan pendidikan lingkungan hidup di Indonesia dilakukan oleh IKIP
Jakarta pada tahun yaitu dengan menyusun Garis-garis Besar Pendidikan dan
Pengajaran (GBPP) bidang lingkungan hidup untuk pendidikan dasar. Pada tahun
1977/1978, GBPP tersebut kemudian diujicobakan pada 15 SD di Jakarta. Selain
itu penyusunan GBPP untuk pendidikan dasar, beberapa perguruan tinggi juga
mulai mengembangkan Pusat Studi Lingkungan (PSL) yang salah satu aktivitas
utamanya adalah melaksanakan kursus-kursus mengenai analisis dampak lingkungan
(AMDAL). Program studi lingkungan dan konservasi sumberdaya alam di beberapa
perguruan tinggi juga mulai dikembangkan.
b.
Periode 1983-1993 (periode sosialisasi)
Pada periode ini,
kegiatan pendidikan lingkungan hidup baik di jalur formal (sekolah) maupun di
jalur non formal (luar sekolah) telah semakin berkembang. Pada jalur pendidikan
formal, khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, materi pendidikan
yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan konservasi SDA telah diintegrasikan
ke dalam kurikulum 1984. Selama periode ini, berbagai pusat studi seperti Pusat
Studi Kependudukkan (PSK) dan Pusat Studi Lingkungan (PSL) baik di perguruan
tinggi negeri maupun pergurutan tinggi swasta terus bertambah jumlah dan
aktivitasnya. Selain itu, program-program studi pada jenjang S1, S2, dan S3
yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam juga
terus berkembang. Bahkan isu dan permasalahan lingkungan hidup telah diarahkan
sebagai bagian dari Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) yang harus diterima oleh
semua mahasiswa pada semua program studi atau disiplin ilmu.
Perhatian terhadap upaya pengembangan pendidikan lingkungan hidup oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga terus meningkat, khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, yaitu dengan terus dimantapkannya program dan aktivitasnya melalui pembentukkan Bagian Proyek KLH sebagai salah satu unit kegiatan di Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen). Pada periode ini sosialiasasi masalah lingkungan hidup juga dilakukan terhadap kalangan administratur negara dengan memasukkan materi kependudukkan dan lingkungan hidup ke dalam kurikulum penjenjangan tingkat Sepada, Sepadya, dan Sespa pada Diklat Lembaga Administrasi Negara (LAN) tahun 1989/1990. Di samping itu, selama periode ini pula banyak LSM serta lembaga nirlaba lainnya yang didirikan dan ikut mengambil peran dalam mendorong terbentuknya kesadaran masyarakat akan pentingnya perilaku ramah lingkungan. Secara keseluruhan, perkembangan kegiatan pendidikan, penyuluhan, dan penyadaran masyarakat di atas tidak saja terjadi di Jakarta tetapi juga di daerah-daerah lainnya.
c.
Periode 1993 – sekarang (periode pemantapan dan pengembangan)
Salah satu hal yang
menonjol dalam periode ini adalah ditetapkannya Memorandum Bersama antara
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. 0142/U/1996 dan No Kep: 89/MENLH/5/1996 tentang Pembinaan dan
Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup, tanggal 21 Mei 1996. Sejalan dengan
itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Departemen P
& K juga terus mendorong pengembangan dan pemantapan pelaksanaan pendidikan
lingkungan hidup di sekolah-sekolah antara lain melalui penataran guru,
penggalakkan bulan bakti lingkungan, penyiapan Buku Pedoman Pelaksanaan
Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) untuk Guru SD, SLTP, SMU
dan SMK , program sekolah asri, dan lain-lain. Selain itu, berbagai insiatif
dilakukan baik oleh pemerintah, LSM, maupun erguruan tinggi dalam mengembangkan
pendidikan lingkungan hidup melalui kegiatan seminar, sararasehan, lokakarya,
penataran guru, pengembangan sarana pendidikan seperti penyusunan modul-modul
integrasi, buku-buku bacaan dan lain-lain.
Walaupun perhatian
terhadap langkah-langkah pengembangan pendidikan lingkungan hidup pada satu
atau dua tahun terakhir ini semakin meningkat, baik untuk pendidikan sekolah
dan pendidikan luar sekolah, namun harus diakui bahwa masih banyak hal yang
perlu terus selalu diperbaiki agar pendidikan lingkungan hidup dapat lebih
memasyarakat secara konsisten dan berkelanjutan. Dengan demikian, kegiatan
pendidikan lingkungan hidup yang dilaksanakan mulai jenjang pra sekolah,
pendidikan dasar, pendidikan menengah, hingga pendidikan tinggi melalui
berbagai bentuk kegiatan dapat memberikan hasil yang optimal.
No comments:
Post a Comment